BIOGRAFI PAHLAWAN NASIONAL - sumber www.juangtechno.my.id
Berikut ini adalah
biografi singkat beberapa pahlawan nasional Republik Indonesia yang ditujukan
untuk adik-adik kelas V sekolah dasar yang sedang mengerjakan tugas. Tulisan
ini bertujuan membantu adik-adik dalam mengenal lebih banyak tentang pahlawan
kita. Daftar ini belum lengkap dan hanya mencakup 18 pahlawan, jadi adik-adik
bisa menambahkan informasi dan foto-foto pahlawan lainnya. Selamat mengerjakan
tugas dan semoga bermanfaat!
Pahlawan Nasional
Indonesia (Urut Berdasarkan Abjad):
1. Amir Hamzah
Penyair dan pejuang
kebudayaan Indonesia yang juga merupakan tokoh sastra Angkatan Pujangga Baru.
2. Cut Nyak Dhien
Pejuang perempuan
dari Aceh yang dikenal karena keberanian dan kegigihannya dalam melawan
penjajah Belanda.
3. Dewi Sartika
Pelopor pendidikan
untuk perempuan di Jawa Barat dan pendiri Sekolah Keutamaan Istri.
4. KH. Agus Salim
Diplomat dan salah
satu pendiri Republik Indonesia yang berperan penting dalam perjuangan
diplomasi.
5. Martha Christina
Tiahahu
Pejuang perempuan
muda dari Maluku yang gigih berperang melawan penjajah Belanda.
6. Nyai Ahmad Dahlan
(Siti Walidah)
Istri dari pendiri
Muhammadiyah, yang berperan aktif dalam pendidikan perempuan dan sosial
keagamaan.
7. Oto Iskandar Di
Nata
Dikenal sebagai
"Si Jalak Harupat," pejuang kemerdekaan dari Jawa Barat.
8. Pangeran Antasari
Pemimpin perlawanan
dari Kalimantan Selatan yang gigih melawan penjajah Belanda.
9. Pangeran
Diponegoro
Pemimpin Perang Jawa
(1825-1830) yang berjuang mempertahankan kemerdekaan tanah Jawa dari kolonial
Belanda.
10. Sisingamangaraja
XII
Raja Batak yang
memimpin perlawanan sengit melawan kolonial Belanda di Sumatera Utara.
11. Silas Papare
Tokoh dari Papua
yang berjuang untuk integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia.
12. Sultan Agung
Raja Mataram yang
memimpin perlawanan besar melawan VOC di abad ke-17.
13. Sultan
Hasanuddin
Raja Gowa dari
Sulawesi Selatan yang dikenal sebagai "Ayam Jantan dari Timur" karena
perjuangannya melawan penjajah.
14. Sultan Mahmud
Badaruddin II
Pahlawan dari
Palembang yang memimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda.
15. Teuku Nyak Arief
Tokoh pejuang dari
Aceh yang berperan dalam perlawanan melawan kolonialisme.
16. Teuku Umar
Pahlawan Aceh yang
terkenal dengan taktik gerilyanya dalam perlawanan melawan Belanda.
17. Teungku Chik Di
Tiro
Pemimpin ulama dan
pejuang Aceh yang memimpin perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
18. Tuanku Imam
Bonjol
Pemimpin Perang
Padri dari Sumatera Barat yang berperang melawan penjajahan dan penindasan.
Semoga adik-adik
semakin mengenal para pahlawan kita dan memahami perjuangan mereka. Selamat
belajar dan tetap semangat!
Nyai Ahmad Dahlan/Siti Walidah
Nyai Ahmad Dahlan(penggerak perempuan Muhammadiyah) memiliki nama asli Siti Walidah. Dengan nama itu ia bisa dikatakan luput dari sejarah, bahkan tak ada catatan yang terukir dalam sejarah bahwa ia adalah ulama permpuan. Namun tidak seperti itu kejadiannya ketika Siti Walidah menikah dengan seorang pendiri Muhammadiyah sehingga namanya lebih dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan. Nyai Ahmad Dahlan adalah nama yang disandangnya yang kemudian dikenal luas dan bahkan sampai saat ini ia digambarkan sebagai tokoh wanita yang banyak banyak berjasa dalam memperjuangkan nasib perempuan sehingga ia disetarakan dengan tokoh-tokoh wanita lain seperti R.A Kartini.
Nyai Ahmad Dahlan/Siti Walidah adalah seorang tokoh yang bergerak di bidang Islam dan dapat dikatakan sebagai tokoh gerakan perempuan Muslim Indonesia. Ia bergerak aktid melalui Muhammadiyah dan juga Aisyiyah. Nyai Ahmad Dahlan membuktikan bahwa sepirit Islam mampu mendorong kemajuan kaum wanita. Pada perjuangannya ia membuktikan pada dunia luar bahwa asumsi agama menjadi sebab keterbelakangan bagi kaum wanita adalah tidak selamanya dibenarkan. Nyai Ahmad Dahlan berasal dari keluarga santri yang taat beragama. Ia dilahirkan pada 1872 M di daerah Kauman, Yogyakarta.Ayahnya adalah H. Muhammad Fadlil bin Kiai Penghulu Haji Ibrahim bin Kiai Muhammad Hassan Pengkol bin Kiai Muhammad Ali Ngraden Pengkol. Ayahnya adalah seorang penghulu Kraton. Ibunya dikenal dengan nama Nyai Mas.
Nyai Ahmad Dahlan berasal dari keluarga yang taat beragama sehingga tak heran jika ia sejak kecil mendapat arahan untuk berjalan dengan benar dalam agama. Ayahnya adalah orang yang mempunyai disiplin tinggi pada keluarganya dalam menjalankan ketaatan beragama.
Nyai Ahmad Dahlan tumbuh dalam keluarga yang sederhana. Selain bekerja sebagai penghulu, ayahnya juga berdagang batik guna memenuhi kebutuhan hidupnya. seperti halnya orang di daerah kauman lainnya, kehidupannya sat itu diisi dengan belajar ngaji, ia semasa kecil tak pernah mendapat pendidikan secara formal karena penduduk di Kauman saat itu memiliki pandangan belajar secara formal di sekolah yang didirikan oleh Belanda hukumnya adalah haram, sehingga generasi yang hidup pada masanya banyak yang tak mendapatkan pendidikan secara formal.
Setidaknya sampai tahun 1900-an pandangan tentang pentingnya pendidikan secara formal masih belum berkembang secra luas. Hal ini terjadi karena ada salah satu faktor yang menyebutkan bahwa wanita tidak dibenarkan keluar rumah.
Tak banyak catatan sejarah yang menulis tentang perjalanan hidupnya semasa remaja. Dengan. K.H Ahmad Dahlan ia mempunyai enam orang anak, yakni Djohanah(1890), Haji Siradj Dahlan(1898), Siti Busyra Islam( 1903), H. Siti Aisyah Hilal(1905), Irfan Dahlan(1907), Siti Zuharah Masykur(1908).
Nyai Dahlan wafat pada hari Jum’at, 31 Mei 1946 pada jam 13.00 di kediamannya kampung Kauman, Yogyakarta. Ia meninggal setelah 23 tahun wafatnya K.H Ahmad Dahlan.
Oto Iskandar Di Nata
R. Oto Iskandar di Nata merupakan salah satu pahlawan nasional asal Jawa Barat. Lahir di desa Bojongsoang, Dayeuhkolot, Bandung Kidul 31 Maret 1897. Ayahnya bernama R. Nataatmaja, yang berganti nama menjadi R.H. Adam Rakhmat setelah pulang dari ibadah haji dan ibunya bernama Siti Hadijah. Sedangkan diantara saudaranya bernama R. Ating Atma di Nata yang pernah menjadi Walikota Bandung (1945) dan R. Pandu Prawira di Nata.
Sejak kecil Oto sudah terlihat sebagai orang yang cerdas, mandiri, pemberani, serta memiliki bakat sebagai pemimpin. Hobinya bermain sepakbola serta berminat pula terhadap seni. Dalam sepakbola, Oto tidak hanya pintar bermain bola, juga menjadi pemimpin di klub sepakbolanya. Di sekolahnya Oto juga selalu menjadi ketua kelas. Salah satu teman sekolahnya di HIK, R. Ema Bratakusuma, pernah bercerita bahwa jika tidak terpilih pemilihan ketua kelas atau ketua klub sepakbola, Oto selalu berusaha dengan berbagai cara hingga akhirnya terpilih menjadi ketua.
Oto menempuh pendidikan dasar di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) Karang Pamulang Bandung, sekolah dasar yang berbahasa pengantar bahasa Belanda. Dari sana ia melanjutkan ke sekolah guru bagian pertama (HIK) di Bandung. Tamat dari sana Oto melanjutkan ke sekolah guru atas HKS (Hogere Kweekschool) di Purworejo, Jawa Tengah.
Setelah lulus dari HKS pada Juli 1920, Oto menjadi guru HIS di Banjarnegara, Banyumas, Jawa Tengah. Pada tahun berikutnya, Juni 1921 Oto dipindahkan ke Bandung dan mengajar di HIS Volksonderwijs (Perguruan Rakyat). Pada Agustus 1924 Oto dipindahkan lagi ke HIS Pekalongan, Jawa Tengah. Agustus 1928 dipindahkan ke Batavia (Jakarta) dan ditempatkan di HIS Muhammadiyah. Sejak tahun 1932, Oto berhenti menjadi guru, karena lebih tertarik dengan kegiatan sosial-politik.
Saat tinggal di Banjarnegara Oto bertemu dengan dua hal yang berpengaruh terhadap hidupnya. Pertama bertemu dengan Raden Ajeng Sukirah dan menikah dengannya pada tahun 1923. Oto kemudian memiliki 12 anak 7 perempuan dan 5 laki-laki, Kedua, bertemu dengan organisasi Budi Utomo dan masuk menjadi anggotanya. Ia tertarik dengan gagasan dan kegiatan organisasi tersebut yang memperhatikan dan membela nasib bangsa yang dijajah oleh bangsa lain.
Ketika pindah ke Bandung Oto melanjutkan aktifitasnya di Budi Utomo karena saat itu sudah ada cabangnya di Bandung.meski tidak terlalu aktif. Oto menghidupkan kembali Budi Utomo cabang Bandung, bahkan beliau terpilih menjadi wakil ketua. Ketika Budi Utomo cabang Bandung mengadakan rapat propaganda di gedung Concordia (sekarang gedung Merdeka ) pada 12-13 September 1921, dalam pidatonya Oto mengkritik serta membuka polemik dengan Paguyuban Pasundan (PP), organisasi orang Sunda yang didirikan di Batawi, 20 Juli 1913.
Tetapi setahun berikutnya, pada 1922 Oto mendekati PP dengan cara menulis surat yang dimuat di surat kabar Siliwangi (7 Nopémber 1922) yang isinya menyatakan bahwa beliau bermaksud untuk masuk Paguyuban Pasundan. Meski demikian niatnya tersebut baru terlaksana 7 tahun kemudian (1929), setelah ia tinggal di Jakarta. Barangkali karena kepindahannya ke Pekalongan yang menyebabkan niatnya itu sempat tertunda.
Di Pekalongan Oto meneruskan kegiatananya di Budi Utomo. Beliau menjadi wakil ketua pengurus Cabang Pekalongan. Setelah itu bahkan terpilih menjadi anggota Gemeenteraad (Dewan Kota) Pekalongan mewakili Budi Utomo. Oto yang dikenal berani dalam membela rakyat membongkar kelicikan perkebunan gula Wonopringgo yang ingin mengusai tanah rakyat hingga rakyat selamat dari penipuan. Kasus tersebut yang disebut Bendungan Kemuning mengakibatkan konflik dengan residen di Pekalongan, hingga akhirnya ia dipindahkan ke Batavia (Jakarta).
Di Jakarta Oto mengajar di HIS Muhammadiyah dan dekat lagi dengan lingkungan sosial budaya Sunda serta Paguyuban Pasundan. Oto yang pernah berniat masuk Paguyuban Pasundan akhrnya bergabung dengan organisasi tersebut. Oto kemudian menjabat sebagai sekretaris di Pengurus Pusat (Hoofdbestuur) Paguyuban Pasundan. Kemudian dalam Kongres PP pada Desember 1929 di Bandung Oto terpilih menjadi ketua pengurus besar Paguyugan Pasundan.
Paguyuban Pasundan pada masa Oto tidak hanya dianggap sebagai organisasi lokal Sunda, tetapi gerakannya terasa di lingkungan nasional. PP aktif dalam Permupakatan Perhimpunan Politik Kemerdekaan Indonésia (PPPKI) serta Gabungan Politik Indonésia (GAPI). Oto pun terpilih menjadi anggota Volksraad (parlemen) sebagai wakil dari Paguyuban Pasundan.
Dalam sidang-sidang Volksraad dikenal dengan ucapan-ucapannya yang tajam dan berani dalam mengecam dan mengkritik pemerintah Hindia Belanda. Tak jarang Oto berdebat dengan pihak Belanda hingga mereka sering naik pitam. Karena keberaniannya itu Oto mendapat julukan "Si Jalak Harupat" yang bermakna seperti ayam jago yang tidak pernah kalah bila diadu. Nama julukannya "Si Jalak Harupat" sekarang digunakan sebagai nama stadion sepakbola di Kabupaten Bandung.
Menjelang Kemerdekaan RI Oto Iskandar di Nata ikut dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdékaan Indonésia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdékaan Indonésia (PPKI). Oto juga yang mengusulkan agar Bung Karno dan Bung Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, yang usulannya langsung disetujui oleh anggota sidang PPKI. Setelah kemerdekaan Oto diangkat menjadi Menteri Negara dalam bidang keamanan dalam kabinet pertama RI.
Oto Iskandar di Nata merupakan sosok pejuang yang pantang menyerah, berjiwa nasionalis, dan antipenjajah. Tetapi akhir hidupnya justru terbunuh oleh pihak-pihak yang mengaku sebagai RI. Dalam menjalankan tugasnya diperkirakan menimbulkan ketidakpuasan pihak lain. Hingga akhirnya menjadi korban penculikan pada 10 Desember 1945 oleh para pemuda yang mengaku dari Laskar Hitam, dan dibunuh pada 20 Desember 1945 di daerah Mauk, Tangerang.
Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol adalah salah seorang tokoh ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam sebuah peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol lahir dengan nama asli Muhammad Shahab di Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Khatib Bayanuddin yang merupakan seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota dengan istrinya Hamatun. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab atau Tuanku Imam Bonjol memperoleh beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Dia sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Nama Tuanku Imam Bonjol dikenal sebagai pemuka agama Islam dengan pribadi yang santun. Sosok Tuanku Imam Bonjol hingga kini tidak bisa dilepaskan dari Kaum Paderi. Kaum Paderi merupakan sebutan yang diberikan kepada sekelompok masyarakat pendukung utama penegakan syiar agama dalam tatanan masyarakat yang zaman dulu populer di tanah Minangkabau terutama pada masa Perang Padri.
Kelompok ini merupakan penganut agama Islam yang menginginkan pelaksanaan hukum Islam secara menyeluruh di Kerajaan Pagaruyung. Keterlibatan Tuanku Imam Bonjol sendiri dalam Perang Padri bermula saat dirinya diminta menjadi pemimpin Kaum Paderi dalam Perang Padri setelah sebelumnya dia ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol. Tuanku Imam Bonjol dipercaya untuk menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.
Tuanku Nan Renceh merupakan salah satu anggota Harimau Nan Salapan yang merupakan sebutan untuk pimpinan beberapa perguruan yang kemudian menjadi pemimpin dari Kaum Padri.
Dengan ditunjuknya sebagai pemimpin, maka kini komando Kaum Paderi ada di tangan Tuanku Imam Bonjol. Sebagai pemimpin, Tuanku Imam Bonjol harus mewujudkan cita-cita yang diimpikan oleh pemimpin Kaum Paderi sebelumnya walaupun harus melalui peperangan.
Perang Padri muncul sebagai sarana Kaum Padri (Kaum Ulama) dalam menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di kalangan masyarakat yang dilindungi oleh para penguasa setempat dalam kawasan Kerajaan Pagaruyung, seperti kesyirikan (mendatangi kuburan-kuburan keramat), perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau dan umumnya pelonggaran pelaksanaan kewajiban ibadah agama Islam.
Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri awalnya dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpin oleh Yang Dipertuan Pagaruyung yakni Sultan Arifin Muningsyah.
Ketika mulai terdesak, Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821 yang justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri. Peperangan ini sendiri pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda dengan susah payah dan dalam waktu yang sangat lama.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang Belanda ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu Tuanku Imam Bonjol langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itulah Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.
Pada masa kepemimpinannya, Tuanku Imam Bonjol mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain, fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan. Sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.
KH. Agus salim
Agus Salim lahir dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya adalah seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau. Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.
Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.
Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain:
* anggota Volksraad (1921-1924)
* anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
* Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
* pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947
* Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
* Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949
Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.
Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim masih mengenal batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.
Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Amir Hamzah
Amir Hamzah adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat) dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu.
Amir Hamzah bersekolah menengah dan tinggal di Pulau Jawa pada saat pergerakan kemerdekaan dan rasa kebangsaan Indonesia bangkit. Pada masa ini ia memperkaya dirinya dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain.
Dalam kumpulan sajak Buah Rindu (1941) yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935 terlihat jelas perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Bersama dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane ia mendirikan majalah Pujangga Baru (1933), yang kemudian oleh H.B. Jassin dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan Pujangga Baru.
Kumpulan puisi karyanya yang lain:
Nyanyi Sunyi (1937),
Setanggi Timur (1939),
Bagawat Gita (1933),
Syirul Asyar .
Amir Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru, tetapi juga menjadi penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga zaman sekarang.
Amir Hamzah terbunuh dalam Revolusi Sosial Sumatera Timur yang melanda pesisir Sumatra bagian timur di awal-awal tahun Indonesia merdeka. Ia wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.
Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dien adalah pahlawan yang berasal dari Aceh. Ia kahir di Lampadang, Aceh Besar, tahun 1850. Sejak kecil ia sudah biasa ikut dengan ayahnya, Teuku Nanta Setia, yang nmenjabat sebagai Ulebalang VI Mukim. Ayahnya orang Aceh keturunan Minangkabau.
Pada usia 12 tahun, ia menikah dengan Teuku Cik Ibrahim Lamnga. Pada zaman itu memang anak-anak seusia tersebut sudah menikah. Diharapkan setelah menikah, mereka bersama suami atau istrinya bisa sama-sama berjuang mengusir penjajah.
Waktu itu hubungan kerajaan Aceh dengan penjajah Belanda sudah buruk karena Belanda ingin sekali dapat menguasai Aceh. pada tahun 1873 meletus Perang Aceh melawan Belanda. Dua tahun kemudian daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda. Cut Nyak Dien terpaksa mengungsi ke tempat lain bersama anaknya yang masih kecil. Suaminya terus berjuang. pada bulan Juni 1878, suami Cut Ny Dien gugur sebagai pejuang di Gle Tarum.
Sejak saat itu, Cut Nyak Dien akan berjanji meneruskan perjuangan suaminya. pada tahun itu juga perlawanan cut Nyak Dien dan pasukannya dihadapi Belanda dengan berondongan meriam yang mereka tembak dari kapal-kapal mereka. Pertempuran berjalan dnegan seru. Pasukan Aceh bergerak ke Aceh Besar. Dari sana mereka menyerang pos-pos Belanda sehingga para penjajah meninggalkannya.
Cu Nyak Dien sudah berjanji hanya akan menikah dengan seorang Pejuang. Tahun 1880 ia menikah lagi dengan seorang pejuang bernama Teuku Umar, yang msih saudara sepupunya. Teuku Umar terkenal karena keberaniannya memimpin psukan dan kecerdikannya.
Sepasang pejuang ini kini bekerja sama melawan penjajah. Kemudian, pada bulan Agustus 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kepada Belanda dan berpura-pura menjadai tentara Belanda. Ini bagian dari siasat Teuku Umar untuk mengetahui rahasia perang Belanda, juga untuk menucri senjata.
Akan tetapi, banyak pejuang Aceh yang beranya-tanya. maka Cut Nyak Dien mengusulkan agar suaminya keluar dari ketentaraan Belanda dan kembali berjuang terang-terangan bersama para pejuang Aceh. Usul ini diikuti suaminya.
Dalam pertempuran di Meulaboh, 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur sebagai pejuang. Sejak kematian suaminya itu, Cut Nyak Dien menggantikan suaminya sebagai pimpinan para pejuang. Cut Nyak Dien tetap melalukan perang gerilya di berbagai daerah di Aceh. Sementara itu ia sudah semakin tua, matanya sudah tidak bisa melihat dengan jelas. Selain itu ia juga punya penyakit encok yang sering kumat. Pasukannya juga sudah berkurang karena banyak yang gugur atau bergabung dengan Belanda.
Keadaan Cut Nyak Dien yang sudah nenek-nenek itu membuat anak buahnya yang bernama pang Laot tidak tega. maka ia melapor ke Belanda agar Cut Nyak Dien dapat menjalani hari tua dengan sedikit tentram. Akhirnya Cut Nyak Dien ditangkap Belanda.
Waktu ditangkap, Cut Nyak Dien sempat menghunus rencongnya ke arah si pelapor, tapi dicegah oleh Belanda. Meski tetap khawatir akan perlawanannya, Belanda memperlakukan Cut Nyak Dien dengan baik. Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang, Jawa Barat dan meninggal karena penyakit tua pada tanggal 6 November 1908.
Cut Nyak Dhien yang merupakan pahlawan perempuan yang gigih berani memimpin para pejuang demi mempertahankan Indonesia.
Dewi Sartika
Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.
Dewi Sartika dilahirkan di keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan Raden Somanagara. Meskipun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakah ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara wawasan kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda.
Sedari kecil , Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena waktu itu belum ada anak (apalagi anak rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang telah dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namun karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, beliau memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah Latihan Guru.
Terjemahan: Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, beliau mempunyai visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang Pamjulang, yang waktu itu merupakan sekolah Latihan Guru.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang : Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
Silas Papare
Silas Papare (lahir di Serui, Papua, 18 Desember 1918 – meninggal di Serui, Papua, 7 Maret 1973 pada umur 54 tahun) adalah seorang pejuang penyatuan Irian Jaya (Papua) ke dalam wilayah Indonesia. Ia adalah seorang pahlawan nasional Indonesia.
Riwayat Singkat
Beliau menyelesaikan pendidikan di Sekolah Juru Rawat pada tahun 1935 dan bekerja sebagai pegawai pemerintah Belanda. Ia sangat gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua sehingga beliau sering berurusan dengan aparat keamanan Belanda dalam memerangi kolonialisme Belanda dan pada akhirnya beliau dipenjarakan di Jayapura karena memengaruhi Batalyon Papua untuk memberontak.
Semasa menjalani masa tahanan di Serui, Silas berkenalan dengan Dr. Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi yang diasingkan oleh Belanda ke tempat tersebut. Perkenalannya tersebut semakin menambah keyakinan beliau bahwa Papua harus bebas dan bergabung dengan Republik Indonesia. Akhirnya, beliau mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Akibatnya, beliau kembali ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di Biak. Namun, beliau kemudian melarikan diri menuju Yogyakarta.
Pada bulan Oktober 1949, beliau mendirikan Badan Perjuangan Irian di Yogyakarta dalam rangka membantu pemerintah Republik Indonesia untuk memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah RI.
SUPRIYADI
Supriyadi lahir di Trenggalek pada tanggal 13 April 1923 dengan nama Priyambodo. Sejak kanak-kanak darah patriotiknya sudah sudah berkobar-kobar karena kakek tirinya senantiasa memberi wejangan tentang nilai-nilai kepahlawanan yang bersumber dari cerita wayang.
Semula, Supriyadi adalah perwira instruktur yang diangkat Jepang untuk pembentukan tentara-tentara pribumi sebagai kader inti PETA (Pembela Tanah Air). Ia ditempatkan di Peleton I Kompi III PETA di Blitar. Menyaksikan kekejaman tentara Jepang terhadap bangsanya, darah muda Supriyadi mendidih.
Pada tanggal 14 Februari 1945, kebenciannya kepada penjajah Jepang kejam akhirnya meletus menjadi sebuah pemberontakan di Blitar. Kendati bisa dipadamkan dalam waktu singkat, pemberontakan yang dipimpin perwira berpangkat shodanco yang baru berusia 22 tahun ini memakan banyak korban dari pihak tentara Jepang. Namun karena kekuatan yang tidak berimbang, anggota PETA yang melakukan perlawanan itu akhirnya dapat ditumpas. Sejumlah anak buah Supriyadi menyerah malah ada yang dihukum mati dan dipenjara.
Sedangkan keberadaan Supriyadi saat ini masih diliputi misteri. Tidak ada saksi langsung yang melihat ia di eksekusi. Namun tidak banyak yang meyakini ia masih hidup, mengingat kejamnya perlakuan tentara Jepang terhadap pemberontak.
Keberanian para tentara PETA Blitar, yang dipimpim Supriyadi melawan Jepang, telah menginspirasi timbulnya berbagai perlawanan sejenis dari para tentara PETA di daerah lainnya, seperti PETA Gumilir-Cilacap, PETA Cileunca Pengalengan-Bandung, PETA Rengasdengklok kemudian PETA Jakarta. Perlawanan PETA tersebut merupakan kekuatan moral bagi para pemimpin bangsa untuk segera memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia. Peristiwa itu, juga mendorong keberanian rakyat untuk melucuti senjata tentara Jepang menjelang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Teuku Nyak Arief
Teuku Nyak Arief menempuh pendidikanya di OSVIA (Sekolah pamong praja) serang, jawa barat. Setelah tamat pada tahun 1915, ia kembali ke banda aceh. Tahun 1919, ia diangkat menjadi ketua Nationale Indische Partij (NIP) cabang Banda Aceh. Tahun 1920, ia kembali diangkat suatu daerah tertentu di aceh.
Teuku Nyak Arief pernah menjadi anggota Voolksraad (Dewan Rakyat) selama satu periode. Ia juga merupakan salah seorang pendiri fraksi nasional dalam Volksraad. Selama menjadi anggota Volksraad, ia kerap mengritik kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang selalu merugikan rakyat.
Demikian pula pada jaman jepang, nyak Arief selain ditunjuk sebagai anggota aceh syu sangikai(dewan rakyat aceh), juga dipercaya menjadi anggota sumatera cuo sangi in (dewan rakyat sumatera). Meskipun kedua lembaga tersebut bentukan jepang, namun secara diam-diam nyak arief tetap melakukan gerakan bawah tanah untuk menentang jepang.
Setelah indonesia merdeka, Teuku Nyak Arief diangkat sebagai Residen Aceh. Ketika itu aceh masih ada tentara jepang yang tersisa menunggu dilucuti sekutu. Sekutu ditolak masuk oleh Teuku Nyak Arief, alasanya pemerintah daerah aceh mampu melakukan itu. Teuku Nyak Arief kemudian melucuti senjata tentara jepang.
Namun jepang sendiri menolak untuk dilucuti oleh orang-orang aceh, sehingga pertentangan antara keduanya dimanfaatkan oleh pihak sekutu. Dengan begitu, sekutu merasa tidak perlu turun tangan langsung melawan pejuang-pejuang aceh yang menolak kedatangan tentara sekutu. Terjadilah perang antara pejuang aceh melawan jepangyang dikenal sebagai peristiwa Krueng Panjo/Bireun.
Selain melawan jepang dan sekutu, pemerintah daerah aceh juga dipusingkan oleh adanya pemberontakan yang dilakukan oleh golongan agama di aceh. Mereka ingin merebut tampuk pemerintah dari golongan ULU Balang (bangsawan). Untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah, Teuku Nyak Arief sebagai residen aceh membiarkan dirinya untuk ditawan oleh laskar mujahidin dan tentara perlawanan rakyat(TPR). Teuku Nyak Arief kemudian dibawa ke Takengon. Tidak berapa lama, tanggal 4 Mei 1946, Teuku Nyak Arief meninggal dunia akibat penyakit gula yang dideritanya selama ini kambuh. Teuku Nyak Arief diteguh sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI. No.071/TK/1974.
Teungku Chik Di Tiro
Teungku Chik di Tiro (Bahasa Aceh, artinya Imam ulama di daerah Tiro) atau Muhammad Saman (Tiro, Pidie, 1836 – Aneuk Galong, Aceh Besar, Januari 1891), adalah seorang pahlawan nasional dari Aceh.
Teungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.
Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil.
Dengan perang sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya.
Teungku Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun 1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda.[1] Bukti kehebatan beliau dapat dilihat dari banyaknya pergantian gubernur Belanda untuk Aceh semasa perjuangan beliau (1881-1891) sebanyak 4 kali, yaitu:
Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883)
Philip Franz Laging Tobias (1883-1884)
Henry Demmeni (1884-1886)
Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891)
Belanda yang merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun ia memakannya, dan akhirnya Muhammad Saman meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.
Pangeran Antasari
Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797 atau 1809 – meninggal di Bayan Begok, Hindia-Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.
Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, beliau juga merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito.
Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari. Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “ Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah! ”
Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.
Perlawanan terhadap Belanda
Lanting Kotamara semacam panser terapung di sungai Barito dalam pertempuran dengan Kapal Celebes dekat pulau Kanamit, Barito Utara
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini. Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda:
1. Antasari dengan anak-anaknya
2. Demang Lehman
3. Amin Oellah
4. Soero Patty dengan anak-anaknya
5. Kiai Djaya Lalana
6. Goseti Kassan dengan anak-anaknya
Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan. Perjuangannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman.
Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968
Pangeran Diponegoro
Pahlawan Nasional Indonesia Pangeran Diponegoro- Pangeran Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Makamnya berada di Makassar.
Asal-usul Diponegoro
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Mustahar,[rujukan?] lalu diubah namanya oleh Hamengkubuwono II tahun 1805 menjadi Bendoro Raden Mas Ontowiryo.
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Riwayat perjuangan
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830. Dan pada 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.
Sisingamangaraja XII
Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845 – meninggal di Dairi, 17 Juni 1907 pada umur 62 tahun) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatera Utara, pejuang yang berperang melawan Belanda. Sebelumnya ia makamkan di Tarutung, lalu dipindahkan ke Balige, dan terakhir dipindahkan ke Pulau Samosir.
Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia-Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatera terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.
Asal-usul
Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatera Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya. Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung. Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.
Perang melawan Belanda
Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bangkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.
Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.
Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Si Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bangkara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda.
Walaupun Bangkara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.
Antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu di tahun 1884.
Makam
Singamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di Dairi. Sebuah peluru menembus dadanya, akibat tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel. Menjelang nafas terakhir dia tetap berucap, Ahuu Sisingamangaraja. Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke Soposurung, Balige sejak 17 Juni 1953, namun terakhir kembali dipindahkan ke Pulau Samosir.
Warisan sejarah
Kegigihan perjuangan Sisingamangaraja XII ini telah menginspirasikan masyarakat Indonesia, yang kemudian Sisingamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Selain itu untuk mengenang kepahlawanannya, nama Sisingamangaraja juga diabadikan sebagai nama jalan di seluruh kawasan Republik Indonesia.
Selain itu, untuk mengukuhkan jasa beliau sebagai seorang pelawan penjajahan, beliau dianugerahi gelar sebagai seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang ditetapkan melalui SK Presiden RI No 590/1961 tanggal 9 November 1961 bersama dengan beberapa pahlawan lain seperti Oemar Said Tjokroaminoto, Kiai Haji Samanhudi, Setiabudi dan Dr. G.S.S.J. Ratulangi
Sultan Mahmud Badarudin II
Sultan Mahmud Badaruddin II. Sultan Mahmud Badaruddin II (l: Palembang, 1767, w: Ternate, 26 September 1852)[1] adalah pimpinan kesultanan Palembang Darussalam selama 2 periode (1803-1813 dan 1818-1821), Menerukan masa pemerintahan ayahnya, Sultan Muhammad Bahauddin (1776 sampai 1803). Nama asli beliau sebelum menjadi seorang Sultan adalah Raden Hasan Pangeran Ratu.
Pada tanggal 14/7/1821, Saat Hindia Belanda sukses menguasai Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarganya ditangkap dan diasingkan ke daerah Ternate.
Konflik palembang dengan Inggris dimulai Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Belanda dan Britania . Di Palembang, Belanda membangun loji pertama di Sungai Aur (10 Ulu).
Raffles tahu persis tabiat Sultan Mahmud Badarudin II. Bersamaan dengan adanya kontak antara Inggris dan Palembang, hal yang sama juga dilakukan Belanda. Dengan bijaksana, Sultan Mahmud Badarudin II membalas surat Raffles yang intinya mengatakan bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam perselisihan antara Belanda dan Britania , serta tidak berniat menjalin kerja sama dengan Belanda. Pada tanggal 14/9/1811 terjadi peristiwa pemusnahan dan pembantaian di loji Sungai Alur. Belanda menuduh Inggris yang memprovokasi Palembang agar mengusir Belanda. Pada sebuah pertempuran sesaat , Palembang berhasil dikuasai dan Sultan Mahmud Badarudin II menyingkir ke Muara Rawas, jauh di hulu Sungai Musi.
Melalui serangkaian perundingan, Sultan Mahmud Badarudin II kembali ke Palembang dan naik takhta kembali pada 13 Juli1813 hingga dilengserkan kembali pada Agustus 1813.
Kebijakan ini tidak membuat senang Raffles karena harus menyerahkan Palembang kepada Belanda. Belanda kemudian mengangkat Herman Warner Muntinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah mendamaikan kedua sultan, Sultan Mahmud Badarudin II dan Husin Diauddin. Pada saat lain, Husin Diauddin yg pernah bersekutu dengan Inggris berhasil dibujuk oleh Muntinghe ke Batavia dan akhirnya ia dibuang ke Cianjur.
Ternyata di daerah Muara Rawas ia dan pasukannya diserang pengikut SMB II yang masih setia. Ini dimaksudkan sebagai jaminan tanda kesetiaan sultan kepada Belanda. Di beberapa tempat pada Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang dipimpin keluarga sultan. Pertempuran sungai dimulai pada tgl 21/10/1819 oleh Belanda melalui tembakan oleh perintah Wolterbeek. SMB II lengser dan bergelar susuhunan. Pada peperangan 20 Juni ini, sekali lagi, Belanda kalah . Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak melakukan penyerangan pada hari Jumat dengan harapan Sultan Mahmud Badarudin II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda dan Sultan Mahmud Badarudin II kalah .
Kapitan Pattimura
Kapitan Pattimura yang bernama asli Thomas Matulessy, ini lahir di Negeri Haria, Saparua, Maluku tahun 1783. Perlawanannya terhadap penjajahan Belanda pada tahun 1817 sempat merebut benteng Belanda di Saparua selama tiga bulan setelah sebelumnya melumpuhkan semua tentara Belanda di benteng tersebut. Namun beliau akhirnya tertangkap. Pengadilan kolonial Belanda menjatuhkan hukuman gantung padanya. Eksekusi yang dilakukan pada tanggal 16 Desember 1817 akhirnya merenggut jiwanya.
Perlawanan sejati ditunjukkan oleh pahlawan ini dengan keteguhannya yang tidak mau kompromi dengan Belanda. Beberapa kali bujukan pemerintah Belanda agar beliau bersedia bekerjasama sebagai syarat untuk melepaskannya dari hukuman gantung tidak pernah menggodanya. Beliau memilih gugur di tiang gantung sebagai Putra Kesuma Bangsa daripada hidup bebas sebagai penghianat yang sepanjang hayat akan disesali rahim ibu yang melahirkannya.
Dalam sejarah pendudukan bangsa-bangsa eropa di Nusantara, banyak wilayah Indonesia yang pernah dikuasai oleh dua negara kolonial secara bergantian. Terkadang perpindahtanganan penguasaan dari satu negara ke negara lainnya itu malah kadang secara resmi dilakukan, tanpa perebutan. Demikianlah wilayah Maluku, daerah ini pernah dikuasai oleh bangsa Belanda kemudian berganti dikuasai oleh bangsa Inggris dan kembali lagi oleh Belanda.
Thomas Matulessy sendiri pernah mengalami pergantian penguasaan itu. Pada tahun 1798, wilayah Maluku yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda berganti dikuasai oleh pasukan Inggris. Ketika pemerintahan Inggris berlangsung, Thomas Matulessy sempat masuk dinas militer Inggris dan terakhir berpangkat Sersan.
Namun setelah 18 tahun pemerintahan Inggris di Maluku, tepatnya pada tahun 1816, Belanda kembali lagi berkuasa. Begitu pemerintahan Belanda kembali berkuasa, rakyat Maluku langsung mengalami penderitaan. Berbagai bentuk tekanan sering terjadi, seperti bekerja rodi, pemaksaan penyerahan hasil pertanian, dan lain sebagainya. Tidak tahan menerima tekanan-tekanan tersebut, akhirnya rakyat pun sepakat untuk mengadakan perlawanan untuk membebaskan diri. Perlawanan yang awalnya terjadi di Saparua itu kemudian dengan cepat merembet ke daerah lainnya diseluruh Maluku.
Di Saparua, Thomas Matulessy dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk itu, ia pun dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 mei 1817, suatu pertempuran yang luar biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya tewas, termasuk Residen Van den Berg.
Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut berhasil dikuasai pasukan Kapitan Patimura. Namun, Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja benteng itu. Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan mengerahkan pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih modern. Pasukan Pattimura akhirnya kewalahan dan terpukul mundur.
Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda. Bersama beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia dibujuk agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya.
Akhirnya dia diadili di Pengadilan kolonial Belanda dan hukuman gantung pun dijatuhkan kepadanya. Walaupun begitu, Belanda masih berharap Pattimura masih mau berobah sikap dengan bersedia bekerjasama dengan Belanda. Satu hari sebelum eksekusi hukuman gantung dilaksanakan, Pattimura masih terus dibujuk. Tapi Pattimura menunjukkan kesejatian perjuangannya dengan tetap menolak bujukan itu. Di depan benteng Victoria, Ambon pada tanggal 16 Desember 1817, eksekusi pun dilakukan.
Kapitan Pattimura gugur sebagai Pahlawan Nasional. Dari perjuangannya dia meninggalkan pesan tersirat kepada pewaris bangsa ini agar sekali-kali jangan pernah menjual kehormatan diri, keluarga, terutama bangsa dan negara ini.
Teuku Umar
Teuku Umar. Ia dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia. Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899. Kakek Teuku Umar adalah keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makdum Sati yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh. Datuk Makdum Sati mempunyai dua orang putra, yaitu Nanta Setia dan Achmad Mahmud. Teuku Achmad Mahmud merupakan bapak Teuku Umar.
Ketika perang aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal umurnya baru menginjak19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri yang kemudian dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur ini, Teuku Umar juga sudah diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.
Kepribadian Teuku Umar sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas, dan pemberani.
Pernikahan Teuku Umar tidak sekali dilakukan. Ketika umurnya sudah menginjak usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Sejak saat itu, ia mulai menggunakan gelar Teuku. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya. Sebenarnya Cut Nyak Dien sudah mempunyai suami (Teuku Ibrahim Lamnga) tapi telah meninggal dunia pada Juni 1978 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Setelah itu, Cut Nyak Dien bertemu dan jatuh cinta dengan Teuku Umar. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda di Krueng. Hasil perkawinan keduanya adalah anak perempuan bernama Cut Gambang yang lahir di tempat pengungsian karena orang tuanya tengah berjuang dalam medan tempur.
Belanda sempat berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Satu tahun kemudian (tahun 1884) pecah kembali perang di antara keduanya. Pada tahun 1893, Teuku Umar kemudian mencari strategi bagaimana dirinya dapat memperoleh senjata dari pihak musuh (Belanda). Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki tangan) Belanda. Istrinya, Cut Nyak Dien pernah sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Atas keterlibatan tersebut, pada 1 Januari 1894, Teuku Umar sempat dianugerahi gelar Johan Pahlawan dan diizinkan untuk membentuk legium pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap.
Saat bergabung dengan Belanda, Teuku Umar sebenarnya pernah menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Peperangan tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura. Sebab, sebelumnya Teuku Umar telah memberitahukan terlebih dahulu kepada para pejuang Aceh. Sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk
seorang Pangleot sebagai tangan kanannya akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn.
Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kemudian keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar. Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Siasat dan strategi perang yang amat lihai tersebut dimaksudkan untuk mengelabuhi kekuatan Belanda pada saat itu yang amat kuat dan sangat sukar ditaklukkan. Pada saat itu, perjuangan Teuku Umar mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud yang bersama 400 orang ikut menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut, sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak Belanda.
Gubernur Deykerhorf merasa tersakiti dengan siasat yang dilakukan Teuku Umar. Van Heutsz diperintahkan agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar. Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh pada tanggal10 Februari 1899.
2. Pemikiran
Sejak kecil, Teuku Umar sebenarnya memiliki pemikiran yang kerap sulit dipahami oleh teman-temannya. Ketika beranjak dewasa pun pemikirannya juga masih sulit dipahami. Sebagaimana telah diulas di atas bahwa taktik Teuku Umar yang berpura-pura menjadi antek Belanda adalah sebagai bentuk “kerumitan” pemikiran dalam dirinya. Beragam tafsir muncul dalam memahami pemikiran Teuku Umar tentang taktik kepura-puraan tersebut. Meski demikian, yang pasti bahwa taktik dan strategi tersebut dinilai sangat jitu dalam menghadapi gempuran kolonial Belanda yang memiliki pasukan serta senjata sangat lengkap. Teuku Umar memandang bahwa “cara yang negatif” boleh-boleh saja dilakukan asalkan untuk mencapai “tujuan yang positif”. Jika dirunut pada konteks pemikiran kontemporer, pemikiran seperti itu kedengarannya lebih dekat dengan komunisme yang juga menghalalkan segala cara. Semangat perjuangan Teuku Umar dalam menghadapi kolonialisme Belanda yang pada akhirnya mendorong pemikiran semacam itu.
3. Karya
Karya Teuku Umar dapat berupa keberhasilan dirinya dalam menghadapi musuh. Sebagai contoh, pada tanggal 14 Juni 1886, Teuku Umar pernah menyerang kapal Hok Centon, milik Belanda. Kapal tersebut berhasil dikuasai pasukan Teuku Umar. Nahkoda kapalnya, Hans (asal Denmark) tewas dan kapal diserahkan kepada Belanda dengan meminta tebusan sebesar 25.000 ringgit. Keberanian tersebut sangat dikagumi oleh rakyat Aceh. Karya yang lain adalah berupa keberhasilan Teuku Umar ketika mendapatkan banyak senjata sebagai hasil dari pengkhianatan dirinya terhadap Belanda.
4. Penghargaan
Berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, salah satunya yang terkenal adalah terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah lapangan di Meulaboh, Aceh Barat.
Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun, adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. dia diangkat menjadi Sultan ke 6 Kerajaan Gowa dalam usia 24 tahun (tahun 1655).
Sementara itu belanda memberinya gelar de Haav van de Oesten alias Ayam Jantan dari Timur karena kegigihannya dan keberaniannya dalam melawan Kolonial belanda. Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan. Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Reruntuhan benteng Somba Opu Makassar
Peperangan antara VOC dan Kerajaan Gowa (Sultan Hasanuddin) dimulai pada tahun 1660. Saat itu Belanda dibantu oleh Kerajaan Bone yang merupakan kerajaan taklukan dari Kerajaan Gowa. Pada peperangan tersebut, Panglima Bone, Tobala akhirnya tewas tetapi Aru Palaka berhasil meloloskan diri dan perang tersebut berakhir dengan perdamaian. Akan
tetapi, perjanjian dama tersebut tidak berlangsung lama karena Sultan Hasanuddin yang merasa dirugikan kemudian menyerang dan merompak dua kapal Belanda , yaitu de Walvis dan Leeuwin. Belanda pun marah besar.
Makam Sultan Hasanuddin
Lalu Belanda mengirimkan armada perangnya yang besar yang dipimpin oleh Cornelis Speelman. Aru palaka, penguasa Kerajaan Bone juga ikut menyerang Kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin akhirnya terdesak dan akhirnya sepakat untuk menandatangani perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Pada tanggal 12 April 1668, Sultan Hasanuddin kembali melakukan serangan terhadap Belanda. Namun karena Belanda sudah kuat maka Benteng Sombaopu yang merupakan pertahanan terakhir Kerajaan Gowa berhasil dikuasai Belanda. Hingga akhir hidupnya, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau bekerjasama dengan Belanda. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670. Untuk Menghormati jasa-jasanya, Pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya dengan SK Presiden Ri No 087/TK/1973.
Sultan Agung
Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa: Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Kerta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Sultan Agung adalah raja terbesar Kerajaan Mataram Islam yang terkenal kegigihannya melawan pendudukan VOC di Pulau Jawa. Sultan Agung Hanyokrokusumo lahir di Yogyakarta tahun 1591 dan wafat di Yogyakarta tahun 1645, dimakamkan di pemakaman raja Mataram di Imogiri Jawa Tengah.
Sultan Agung di angkat menjadi raja Mataram menggantikan ayahnya Raden Mas Jolang pada tahun 1613. Di bawah pemerintahannya, Mataram mencapai puncak kejayaan dan kemakmuran. Struktur perekonomian rakyat lebih dititikberatkan pada sektor pertanian. Pada masa pemerintahannya, VOC sudah melebarkan sayap melakukan monopoli perdagangan hasil bumi di Pulau Jawa. Beliau tidak mau berkompromi dengan VOC bahkan dua kali melakukan penyerangan besar-besaran ke markas VOC di Batavia (sekarang Jakarta).
Penyerangan pertama pada tahun 1628 di pimpin tumenggung Bahurekso dan beberapa panglima perang lainnya. Namun Penyerangan ini gagal karena jauhnya jarak antara Mataram-Batavia, serangan wabah penyakit, kekurangan logistik dan pasokan air.
Pada tahun 1629, Sultan Agung kembali memerintahkan pasukan Mataram menyerang Batavia untuk kedua kalinya. Penyerangan dipimpin Dipati Puger dan Dipati Purbaya. Untuk mempersiapan logistik, Kerajaan mataram membangun lumbung-lumbung padi di sepanjang rute perjalanan ke Batavia. Namun rencana penyerangan ini bocor karena pengkhianatan sehingga lumbung-lumbung padi tersebut di bakar pihak Belanda.
Penyerangan kedua ini juga mengalami kegagalan karena serangan endemi kolera sehingga memperlemah kondisi prajurit Mataram. Namun dalam penyerangan, pasukan Mataram sempat menguasai dan menghancurkan benteng Benteng Holandia. Gubernur Jan Pieterzoon Coen juga tewas karena serangan wabah penyakit kolera.
Dari kedua penyerangan tersebut, Sultan Agung tetap berupaya menyerang ketiga kalinya. Kali ini beliau mengirimkan orang-orang Mataram untuk membuka persawahan di daerah Purwakarta, dan Sumedang. Namun rencana penyerangan yang ketiga gagal karena beliau wafat tahun 1645. Penggantinya Sultan Amangkurat I (1645-1677) bersikap lemah bahkan mau bekerjasama dengan Belanda
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
Martha Christina Tiahahu
Martha Christina Tiahahu (lahir di Nusa Laut, Maluku, 4 Januari 1800 – meninggal di Laut Banda, Maluku, 2 Januari 1818 pada umur 17 tahun) adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Lahir sekitar tahun 1800 dan pada waktu mengangkat senjata melawan penjajah Belanda berumur 17 tahun. Ayahnya adalah Kapitan Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga pembantu Thomas Matulessy dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.
Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen terhadap cita-cita perjuangannya.
Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur. Dengan rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah) ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua. Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria di setiap medan pertempuran sehingga Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.
Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw – Ullath jasirah Tenggara Pulau Saparua yang nampak betapa hebat srikandi ini menggempur musuh bersama para pejuang rakyat. Namun akhirnya karena tidak seimbang dalam persenjataan, tipu daya musuh dan pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman. Ada yang harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu divonis hukum mati tembak. Martha Christina berjuang untuk melepaskan ayahnya dari hukuman mati, namun ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di hutan, tetapi akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa.
Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya diluncurkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. Menghargai jasa dan pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.
0 Comments